05 June 2017 / Berita Sukita Terkini

E-CAMP:
PEMBERDAYAAN, PERSAHABATAN,
DAN PENYELAMATAN


media

Empowerment Camp
Departemen OIKMAS GKI Klasis Madiun
25-27 Mei 2017,
di Desa Wisata Coban Talun, Batu

 

Kontributor:

Yohannes ABS
kader GKI angkatan VII


Saya Yohannes ABS, kader GKI angkatan VII yang lagi PPK 2 di GKI Kebonagung. Saya mau berbagi cerita mengenai salah satu kegiatan yang saya ikuti bersama dengan GKI Kebonagung. Bagi para sahabat yang berada dalam lingkup klasis GKI Klasis Madiun pasti akrab dengan kegiatan ini, sebab merekalah pelopornya. Sementara bagi saya, kegiatan ini baru pertama kali saya ikut. Dan jangan-jangan, kegiatan ini adalah kegiatan yang baru saya temukan sepanjang menjadi keluarga besar GKI. Jadi, kegiatan apakah ini?

Empowerment Camp. Ya, itu nama kegiatannya! Kegiatan ini dimotori oleh Departemen OIKMAS GKI Klasis Madiun. Apa dan bagaimana kegiatan tersebut? Sejauh hemat saya, Empowerment Camp atau yang biasa disebut E-Camp adalah sebuah kegiatan pemberdayaan yang menjaring dan membina anggota jemaat untuk menjadi para relawan yang tanggap bencana. Mungkin dalam lingkup yang lebih luas, kita sering mendengar Tim GKI (Gerakan Kemanusiaan Indonesia) yang merupakan tim tanggap bencana bentukan Sinode GKI guna menjangkau wilayah-wilayah Indonesia yang terkena bencana. Akan tetapi, kegiatan ini sebenarnya menyasar pada lingkup yang lebih kecil, yakni mulai dari diri sendiri, keluarga, kerabat, lingkungan gereja, hingga lingkungan masyarakat sekitar kita yang: (1) berpotensi menghadapi bencana dan situasi darurat tertentu (pra-bencana), (2) sedang menangani bencana dan situasi darurat tertentu, dan (3) upaya setelahnya (pasca-bencana). Singkat kata, anggota jemaat dibekali kemampuan yang sifatnya mencegah, mengobati, dan memulihkan di dalam situasi darurat tertentu. Semisal dalam hal pencegahan, ada yang dinamakan mitigasi, yaitu proses mendata, menilai, dan menganalisis potensi-potensi bencana, cara penanggulangan, dan evakuasi di suatu wilayah tertentu. Hal ini dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam hal mengobati, peserta diajarkan mengenai First Aid (Pertolongan Pertama) dalam bencana atau situasi darurat tertentu, seperti pertolongan ketika tersedak, serangan jantung, kecelakaan bermotor, patah tulang, pingsan, dan lain sebagainya. Dalam hal memulihkan, peserta diajarkan bagaimana mengkoordinir posko-posko pengungsian, jalur evakuasi, bantuan logistik, dan lain-lain. Tentunya, masih banyak lagi pembekalan-pembekalan yang diberikan dalam E-camp tersebut. Namun pada intinya, kegiatan E-Camp ini bertujuan untuk mengajarkan upaya-upaya penyelamatan dan pertolongan mendasar terhadap diri sendiri dan orang lain di dalam situasi yang darurat.


 

E-Camp – Coban Talun

E-camp kali ini diadakan pada 25-27 Mei 2017, bertempat di Desa Wisata Coban Talun, Batu. Peserta yang ikut berjumlah 28 orang yang berasal dari beberapa jemaat GKI, baik dari dalam lingkup GKI Klasis Madiun seperti: GKI Bromo, GKI Sidoarjo, GKI Kebonagung, GKI Madiun, GKI Diponegoro, maupun dari klasis lain, seperti: GKI Denpasar, GKI Pengadilan Bogor, GKI Pregolan Bunder, dan GKI Buaran yang secara tidak langsung diwakili oleh saya sendiri. E-camp kali ini merupakan kegiatan lanjutan dari beberapa E-camp yang pernah dilakukan sebelum-sebelumnya. Oleh karena itu, tidak ada tema khusus atau pun pembekalan khusus dalam E-camp kali ini. Agenda utamanya ialah sharing pengalaman riil di lapangan dan pembelajaran yang pernah para peserta dapatkan sebelumnya-sebelumnya.

Pada malam pertama, para peserta saling sharing pengalaman menolong orang lain yang berada dalam situasi darurat dan pembekalan apa saja yang pernah didapatkan. Keterbukaan dan keluguan dari setiap kami yang saling berbagi pengalaman menghangatkan suhu ruangan yang dingin dan meramaikan malam yang sepi. Keesokan paginya, kami berjalan menuju air terjun Coban Talun yang menjadi destinasi wisata utama di wilayah itu. Yang harus kami lakukan ialah (1) menilai potensi bencana yang bisa terjadi sepanjang perjalanan, mulai dari berangkat menuju air terjun hingga pulang, (2) menempelkan papan petunjuk “Jalur Evakuasi”, (3) memungut sampah-sampah sepanjang perjalanan. Pada hari kedua ini juga, kami melakukan mitigasi ke wilayah penduduk yang tersebar di wilayah Coban Talun dengan menemui dan mewawancarai tokoh-tokoh masyarakat setempat. Lalu, pada malam harinya, ditemani hangatnya dari api unggun dan jagung bakar, kami yang terbagi ke dalam lima kelompok melaporkan hasil mitigasinya masing-masing. Keesokan harinya, sebagai bentuk kepedulian terhadap daerah wisata ini, kami memasang peta persebaran Wisata Coban Talun dan juga titik evakuasi jikalau sewaktu-waktu terjadi bencana dan situasi darurat tertentu.

 

Bukan Sekadar Pemberdayaan

Dari pengalaman tiga hari ini, saya sendiri sangat merasakan manfaat yang luar biasa. Pada awalnya saya berpikir bahwa E-camp adalah hanya berkemah sebagaimana biasanya dan kemudian diisi dengan pelatihan-pelatihan tertentu. Akan tetapi, selepas saya mengikuti kegiatan ini, saya justru mengalami perubahan pola pikir. Menurut saya, kegiatan ini bukanlah sekadar pemberdayaan semata, melainkan sebuah pemberdayaan yang mempersahabatkan dan persahabatan yang memberdayakan, dan muaranya dari itu semua ialah upaya penyelamatan. Apa maksudnya?

Pertama, melalui E-camp ini tidak sedikit peserta yang bertemu dengan teman-teman baru, yang kemudian menjalin komunikasi dan kerja sama yang akrab dan erat, baik antarpribadi maupun antargereja. Bahkan, persahabatan tersebut boleh dikatakan lintas generasi dan lintas usia. Dari 28 peserta, ada beragam jenjang usia dan pengalaman di dalamnya, mulai dari anak-anak hingga lansia, mulai dari yang berpengalaman hingga yang baru mengenal. Kami dipertemukan dan dipersatukan oleh semangat bersama untuk saling tolong-menolong guna menghadapi situasi darurat. Yang tua mau belajar dari yang muda, yang berpengalaman mau mengajarkan yang baru belajar, begitupun sebaliknya. Kami dipersatukan dan dikukuhkan dengan semangat bersama untuk mengupayakan keselamatan kepada orang lain.

Kedua, E-camp mengajarkan pentingnya kewaspadaan. Waspada berarti ada kesiap-siagaan untuk menghadapi potensi bencana dan kecelakaan, dengan harapan bisa mengupayakan keselamatan. Oleh karena itu, sifatnya ialah antisipatif dan dilakukan saat kondisi masih baik-baik saja. Dalam hal ini, wujud nyata kewaspadaan itu banyak sekali. Misalnya, menyimpan surat-surat berharga di dalam sebuah map, sehingga jika ada bencana entah kebakaran, banjir, kerusuhan, penjarahan, dll., maka map tersebut tinggal dibawa sembari menyelamatkan diri. Atau, menyediakan alat-alat pemadam kebakaran atau kotak P3K entah di mobil, rumah, gereja, atau pun di tempat-tempat kita beraktivitas. Ibarat pepatah, sedia payung sebelum hujan. Ada upaya antisipatif untuk meminimalkan kerugian atau risiko. Saya ingat ucapan Mas Yohanes Sigit, salah seorang fasilitator E-camp kali ini, yang mengatakan bahwa belajarlah dari tokoh Alkitab, Yusuf, yang ketika keadaan Mesir baik-baik saja, ia justru mempersiapkan dan mengantisipasi untuk bencana kelaparan yang akan datang kemudian.

Ketiga, pemberdayaan semacam ini bisa menjadi alternatif model pembinaan di gereja, yang menempatkan gereja sebagai sahabat bagi seluruh anggota jemaatnya. Harus diakui bahwa potensi bencana, kecelakaan, dan situasi darurat dapat terjadi di gereja kita. Misalnya saja ada anggota jemaat yang terkena serangan jantung mendadak saat beribadah, ada yang pingsan mendadak, dan tidak ada dokter di sana. Apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawanya? Lalu, misalnya juga terjadi kebakaran secara tiba-tiba, ada aksi masa di luar gedung gereja, banjir, ancaman bom saat natal, kecelakaan bermotor tepat di jalan depan gereja, dan itu semua terjadi di waktu-waktu ketika banyak umat berkumpul di gereja. Apa yang bisa kita lakukan, sementara kita tidak memiliki keterampilan untuk mengantisipasi atau menanggulangi kejadian-kejadian semacam itu? Setidaknya, dengan memperlengkapi anggota jemaat dengan keterampilan-keterampilan praktis dan taktis dalam menghadapi situasi darurat, hal itu bisa mengurangi dan mengantisipasi potensi kecelakaan, dan bahkan bisa mengatasi situasi darurat tersebut dengan tenang, cepat, tepat, dan selamat. Keterampilan itu pun tentunya berguna bagi anggota jemaat ketika mereka di rumah, di kantor, di jalan, atau di mana pun yang berpotensi bencana atau kecelakaan. Selain itu, manifestasi konkretnya ketika seluruh anggota jemaat dibina dan dibekali keterampilan tersebut ialah dapat dibentuknya tim tanggap bencana lokal. Ada sebuah tim khusus yang kemudian menjadi penolong dan sahabat untuk para anggota jemaat, khususnya ketika mereka berada dalam situasi darurat. Bahkan tak hanya itu, karyawan gereja juga sebaiknya mendapatkan pembinaan khusus terkait situasi tanggap darurat, karena merekalah yang sehari-hari bekerja di lingkungan gereja.

Keempat, mitigasi menjadi sebuah sarana atau jembatan antara gereja dan masyarakat sekitarnya. Biasanya, para anggota jemaat sebuah gereja tersebar di berbagai wilayah dan kemudian mereka dikelompokkan berdasarkan wilayahnya masing-masing. Dengan mitigasi, gereja bisa mengenali lingkungan-lingkungan yang menjadi wilayah pelayanannya. Lingkungan/Sektor A tentu berbeda dengan Lingkungan B, sehingga potensi bencana dan cara pertolongan/evakuasi keduanya pun berbeda. Di sinilah salah satu manfaat mitigasi untuk setiap pembagian wilayah/lingkungan di gereja, yakni gereja bisa menentukan tindakan dan arahan jikalau sewaktu-waktu anggota jemaatnya di lingkungan tersebut mengalami bencana. Bahkan, tidak hanya anggota jemaat, melainkan warga masyarakat yang berada di lingkungan itu juga bisa tertolong karena gereja memiliki data yang akurat dan kedekatan dengan mereka. Dengan kata lain, mitigasi membantu gereja memiliki database terkait potensi bencana masing-masing wilayah, dan pada akhirnya gereja bisa menjadi sahabat bagi masyarakat.

Kelima, dengan adanya kepekaan terhadap potensi bencana yang dapat muncul sewaktu-waktu, maka manfaat lainnya ialah gereja menjadi peka terhadap alam sekitarnya. Artinya, gereja bisa melakukan langkah preventif, antisipatif, dan rekonstruktif terhadap lingkungan alam. Misalnya saja, ada sebuah gereja yang terletak di wilayah yang rawan banjir. Maka tindakan preventif dan antisipatifnya ialah mau ikut bergotong royong bersama warga sekitar untuk membersihkan selokan sekitar gereja. Dalam hal ini, kesadaran dan kepekaan akan pentingnya lingkungan alam menjadi kuat terasa, karena kita mau mengupayakan keselamatan bagi semuanya.

* * *

 

Tampaknya, apa yang saya utarakan di tulisan ini sangatlah ideal. Namun, bukankah mengharapkan dan mengusahakan sesuatu yang ideal itu merupakan suatu upaya preventif, karena dari padanya muncul kesadaran untuk memperbaiki apa yang belum baik dan meminimalkan risiko yang akan timbul? Saat kita merasa semuanya baik-baik saja, maka seharusnya kita aware, sebab tidak ada yang dapat tahu kapan bencana, kecelakaan, atau situasi darurat itu dapat muncul. Selain itu, memiliki sikap waspada terhadap potensi-potensi bencana dan situasi darurat sebenarnya tidak lantas membuat kita meragukan kuasa ilahi atau justru menjauhkan kita dari Dia. Justru sebaliknya, ketika kita waspada maka kita sedang terlibat di dalam karya keselamatan Allah. Kewaspadaan kita ialah bagian untuk mengupayakan keselamatan dan keutuhan seluruh ciptaan, seperti yang Allah lakukan. Jangan-jangan apa yang dilakukan di dalam Empowerment Camp sebenarnya sangat alkitabiah, (1) “Tetaplah kerjakan keselamatanmu” dan (2) “Siap sedialah, baik atau tidak baik waktunya”. Walaupun kedua ayat itu ngomongin soal kesatuan jemaat dan panggilan pelayanan, tapi aku sih YES...