09 January 2017 / Berita Sukita Terkini

REFLEKSI ACARA DOA BERSAMA LINTAS AGAMA


media

2 Januari 2017

Lapangan Ekspresi, Bogor

 

 

Kontributor:

Pdt. Darwin Darmawan

2 Januari 2017, sekitar 300 orang dari berbagai latar belakang agama, berkumpul di lapangan Ekspresi, Bogor. Di antara mereka, ada sekitar 20 pemuka agama, dengan pakaian ritual khas masing-masing agama. Mereka terlihat akrab berbicara. Sesekali mereka tertawa. Di antara mereka ada yang sudah terlihat sangat dekat, sehingga berani bercanda sesuatu yang “sensitif”. Salah seorang berkata, orang yang beristeri lebih dari satu itu, seperti Pak Haji, adalah orang yang pintar. Ia tahu, perempuan yang diciptakan Tuhan untuk Romo Katolik atau Bikhu Budha, tidak dinikahi karena alasan agama. Agar tidak “mubazir” maka pak haji pun memutuskan untuk mengambil isteri tambahan, yang sedianya diciptakan Tuhan untuk Romo Katolik atau Bikhu Budha. Romo yang mendengarnya tertawa dengan lepas, sambil memukul bahu orang yang mengungkapkan lelucon itu.Beberapa orang awam yang mendengar hal itu tertawa sambil menggelengkan kepala. Ia berkata:”Wah, betapa damai dan indahnya persaudaraan antar agama seperti ini. Andai semua pemuka agama bisa seperti ini”, demikian katanya.

 

Pukul 09.10, MC mengajak peserta yang masih berdiri, untuk duduk dan memulai acara doa bersama. Semua peserta diminta berdiri, menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Karena mengetahui Saudara-saudari dari Katolik memiliki paduan suara dengan kualitas suara yang bagus, MC memberikan kesempatan kepada mereka untuk memimpin lagu kebangsaan tersebut. Setelah itu, MC memberikan kesempatan kepada kelompok Hadroh tampil. Mereka menaikan Shalawat Nabi dengan iringan musik.

Setelahnya, MC memberikan kesempatan kepada Sekjen Badan Sosial Lintas Agama, ketua GP Ansor, ketua Front Pembela Indonesia (FPI Merah Putih) dan Bapak Wali kota Bogor, menyampaikan refleksi dan pesan di tahun baru 2017.

Ada benang merah dari tiap sambutan. Semuanya menyadari, kebinekaan itu adalah anugerah ilahi. Karena itu, kebinekaan perlu dijaga, dirawat, dan dijadikan sumber kekuatan dalam membangun Indonesia. Pada kenyataannya, sepanjang tahun 2016, kebinekaan banyak dipolitisasi, dipakai untuk kepentingan politik atau kuasa. Ke depan, politisasi agama harus dihentikan. Memakai bahasa Wali Kota Bogor, Bima Arya, kebinekaan tidak boleh dirusak oleh kepentingan politik sempit. Politik yang menjadi panglima dan mengorbankan kebinekaan harus diakhiri. Di tahun 2017, cinta yang seharusnya menjadi panglima bukan politik yang memecah belah yang menjadi panglima. Semangat cinta inilah yang dibawa oleh semua agama. Jika cinta menjadi panglima dalam hidup bersama, maka masyarakat akan memiliki modal sosial yang baik. Modal sosial ini niscaya akan membawa masyarakat hidup harmonis, maju, dan bahagia.

Setelah sambutan, MC memberikan kesempatan kepada komunitas Kali Ciliwung, anak-anak muda yang tinggal di Kali Ciliwung, membawakan dua lagu ciptaan mereka. Pertama, berjudul “Nyanyian Akar Rumput”. Lagu bernuansa reggae ini menceritakan kerinduan masyarakat Indonesia, khususnya yang tertindas, akan Indonesia yang bersahabat, ramah dan mencintai semua kelompok di dalamnya. Nyanyian kedua, masih bernuansa reggae, berisikan ajakan untuk merayakan perbedaan.

 

Setelah itu, para pemuka agama, dipimpin oleh Kyai Zainal Abidin, menaikan doa untuk tahun 2017. Di dalamnya terkandung harapan agar ada cinta, persaudaraan, persatuan dan perdamaian di tahun 2017. Di akhir acara, sebagian peserta membentuk simbol hati dan diabadikan melalui foto. Walau acara secara resmi sudah selesai, sebagian besar peserta tidak langsung pulang. Mereka masih betah untuk berbicara satu dengan yang lain, foto bersama dan mengungkapkan kerinduannya agar acara kebersamaan di level akar rumput seperti itu bisa terus dilakukan di kesempatan yang akan datang.

 

Terang dunia

Sepanjang bulan Oktober, November dan Desember, media sosial gaduh dengan postingan-postingan kebencian yang bernuansa agama. Penyebabnya ada beberapa: kasus penistaan agama, fatwa MUI yang melarang perusahaan memaksa pegawainya yang Muslim memakai atribut Natal. Beberapa larangan mengucapkan selamat Natal juga tersebar via WA. Di beberapa grup WA yang saya ikuti, reaksi atas fatwa tersebut cukup seru. Ada nuansa kecewa, kesal, marah terhadap fatwa tersebut. Beberapa dengan nada emosi mengatakan bahwa MUI naif dan tidak punya kepekaan terhadap kebininekaan agama. Karena itu, demikian sebagian reaksi berkata, MUI harus bubar atau perlu dilawan!

Secara manusiawi, reaksi negatif tersebut alami. Namun di tengah situasi seperti itu, saya menyarankan kepada anggota-anggota di salah satu grup WA yang saya ikuti untuk merenung. Kalau situasi tersebut kita ibaratkan kegelapan, di manakah terang kita sehingga kegelapan itu ada? Hakekat terang pada dasarnya mengusir kegelapan. Kegelapan yang disebabkan fatwa MUI yang terkesan intoleran, melarang untuk mengucapkan selamat Natal, sebut saja sebagai kegelapan. Tetapi di mana terang kita sehingga kegelapan itu ada dan bahkan semakin kuat? Maksud saya, apakah sebagai pengikut Kristus, kita sudah berbuat sesuatu membangun toleransi, penghargaan, penghormatan di dalam kehidupan bersama? Kalau itu belum kita lakukan, tidak fair kita berharap ada toleransi dan penghargaan untuk keyakinan Kristiani. Kita juga tidak dewasa kalau terus meratapi kegelapan dan bereaksi secara negatif atasnya. Reaksi tersebut hanya akan membuat kegelapan tersebut semakin gelap.

 

Doa awal tahun sebagai terang kecil di tengah kegelapan

Doa bersama awal tahun yang saya ceritaskan di atas sesungguhnya tidak akan pernah terjadi, seandainya tidak ada 3 orang yang rela mengurbankan waktu, tenaga, pikiran, uang, di saat mereka hampir rasa putus asa karena tidak mendapat dukungan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

Terlaksananya acara doa bersama lintas agama di awal tahun tersebut- yang kemudian diliput oleh media lokal dan nasional –sesungguhnya buah dari pengurbanan 3 orang yang prihatin melihat situasi masyarakat di kota Bogor, yang terpolarisasi karena isu pilkada di Jakarta, penistaan agama, fatwa MUI yang melarang pemakaian atribut Natal untuk karyawan Muslim. Tiga orang ini prihatin. Tetapi tidak terus meratapi kegelapan itu. Mereka mencoba untuk menyalakan terang. Wujudnya dengan mengajak kawan-kawan lintas iman menghadirkan “oase persaudaraan”, melalui doa bersama di awal tahun. Mereka mencoba menawarkan wajah agama yang ramah, bukan pemarah, merangkul bukan memukul, mengasihi bukan membenci, menjadi jembatan yang menghubungkan bukan tembok yang memisahkan. Namun, sampai tiga hari sebelum pelaksanaan acara tersebut, respon dari kawan-kawan lintas agama tidak terlalu antusias. Kalau pun ada yang mendukung ide doa bersama tersebut, itu sekedar dukungan verbal. Dalam pelaksanaannya, mereka tidak benar-benar membantu, bahkan untuk sekedar datang rapat. Padahal, untuk mengadakan doa bersama lintas agama di ruang publik, perlu persiapan yang tidak sedikit. Ijin kepada pihak keamanan, ijin memakai taman, mengundang tokoh agama dan peserta, memesan konsumsi, mencari MC, dan masih banyak lagi. Apa yang masih banyak itu, semuanya belum dipersiapkan dan dikerjakan. Padahal tinggal tiga hari menjelang pelaksanaan. Amat wajar kalau tiga orang itu kemudian hampir putus asa dan hampir memutuskan untuk tidak melakukan doa bersama.

Seorang dari tiga orang tersebut, memberi semangat. Ia berkata, jalan untuk membangun persaudaraan dan perdamaian adalah jalan sunyi dan sepi. Jalan itu juga terjal dan melelahkan. Namun demikian, jalan sunyi yang sulit itu adalah jalan iman. Ia harus terus ditempuh. Jalan itu juga jalan terang. Dan terang yang dinyalakan, sekecil apa pun nyalanya, akan mampu mengusir kegelapan. Di tahun 2017, nyala tersebut sangat diperlukan agar kegelapan karena intoleransi dan kebencian bernuansa SARA, bisa berkurang. Semuanya berpulang ke kita, apa bersedia “hancur” seperti lilin yang dibakar demi menghasilkan terang.

Perkataannya menyemangati kembali. Tiga orang tersebut kemudian berhasil mengajak tiga orang lainnya untuk mempersiapkan acara doa bersama. Di tengah waktu yang terbatas, ternyata ada keajaiban-keajaiban yang memungkinkan kegiatan tersebut terlaksana. Dana yang cukup, ada orang yang siap menyiapkan konsumsi, pihak keamanan yang memberi ijin dan siap mengamankan, pemerintah yang mengijinkan pemakaian taman tanpa surat formal, adalah sebagian dari keajaiban yang dimaksud. Kegiatan pun terlaksana dan membawa dampak sosial yang baik. Benar, terang yang dinyalakan, sekecil apa pun itu, akan menerangi kegelapan yang ada.

Di akhir tulisan ini saya mengajak kita semua merenung. Kalau dari tiga orang yang berkomitmen, bisa menghadirkan terang persaudaraan dan perdamaian di level kota, betapa dahsyat terang yang bisa dihadirkan oleh gereja, komunitas yang disebut Kristus sebagai terang dunia, andai dirinya bersedia menapaki jalan sunyi, jalan terang. Jalan yang telah diteladankan oleh Kristus, Terang yang sejati.