22 May 2020 / Berita Sukita Terkini

CAHAYA ITU BERSINAR DARI HALAMAN GEREJA


media

Sore ini begitu cerah langit di atas Surabaya. Di jalanan tidak sedikit mobil dan motor berlalu lalang meski Pemerintah Kota Surabaya baru saja mengumumkan untuk memperpanjang masa Pembatasan Sosial Berskala Besar, atau yang dikenal sebagai PSBB, dalam rangka menghalau penularan Virus Covid-19. Sejak Covid-19 atau yang popular disebut Korona ini sampai ke Surabaya dan diberlakukan PSBB, sungguh telah merobah total tatanan sosial dan membuat pergerakan ekonomi berjalan sangat lambat

Sore ini begitu cerah langit di atas Surabaya. Di jalanan  tidak sedikit mobil dan motor berlalu lalang meski Pemerintah Kota Surabaya baru saja mengumumkan untuk memperpanjang masa Pembatasan Sosial Berskala Besar, atau yang dikenal sebagai PSBB, dalam rangka menghalau penularan Virus Covid-19. Sejak Covid-19 atau yang popular disebut Korona ini sampai ke Surabaya dan diberlakukan PSBB, sungguh telah merobah total tatanan sosial dan membuat pergerakan ekonomi berjalan sangat lambat. Kondisi yang sulit dipikirkan. Situasi yang membuat banyak orang kehilangan semangat karena tidak tahu kapan akan berakhir, dan kapan bisa beraktifitas normal kembali. Yang kebanyakan orang-orang marginal ini pikirkan adalah, bagaimana cara mendapat penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Banyak di antara mereka yang bekerja di sektor informal, yang bekerja hari ini untuk dimakan hari ini. Belum lagi yang harus ter-PHK akibat perusahaan di mana mereka kerja pendapatannya terjun bebas. Yang terbaca, yang terlihat, dan yang terdengar saat-saat ini hanyalah keluh kesah dan kekhawatiran. Tak terkecuali warga gereja.

Dan dialog kedua tukang becak di depan pagar gereja pun terjadi, dengan masker tetap menutupi sebagian mukanya.

Susah, Pak. Sampek kapan nggih, Pak, Korona niki lungo.

Waduh…, lha kulo nggih mboten ngertos, Lek. Lha inggih, kok yo onok penyakit mboten  jelas ngeten. 

Lha nggih niku, terose Flu, kok mboten saget diobati niku maksude opo.

 Tiba-tiba berhenti pengemudi ojek on-line berusia sekitar 35 tahunan. Dia buka helm ijonya, dia lepas masker dan dilapnya sebentar mukanya. Lantas menuju wastafel yang nempel di bagian luar pos Satpam, yang dipasang Pemkot sejak tanggal 20 Maret lalu, dan bergabung dengan kedua tukang becak tersebut.

Yok opo, Mas. Narik piro dino iki,

Walah, Pak, mboten wonten sing diangkut. Di larang. Wedi ditangkep Pulisi.

Lha, terus.

Lha inggih cuman nganter pesenan panganan. Niki ae sedinoan penjak injing jam Wolu cuman entuk order kale, Pak. Wes mboten ngertos. Pengin ndang balik mantuk, kok nggowo duweke cuman kale-welas ewu.

Awakmu sek iso nggowo duwik rolas-ewu, lha aku blas gak narik. Sopo kate sing numpak becak! Untung iki gerejo bagi-bagi sego bungkus. Yo wes, ndok kene ae ngenteni pembagian sego bungkus gerejo iki. Sek kurang sepuluh menit.

Sudah sejak 24 Maret 2020 GKI Diponegoro Surabaya melalui kemajelisan bidang Kesaksian dan Pelayanan, setiap hari melakukan kegiatan Diakonia dengan membagi-bagi Nasi Bungkus yang ditujukan kepada para Tukang Becak yang ada di sekitaran jalan Diponegoro. Seperti halnya sektor informal lain, gereja menyadari bahwa para penarik becak adalah orang-orang yang termasuk paling terdampak akibat Pandemi Covid-19 ini, meskipun dalam perkembangannya juga tidak sedikit di luar profesi tukang becak yang turut serta dalam pembagian tersebut. Bahkan beberapa orang yang lewat juga menghentikan motornya untuk mampir dan ‘mengambil jatah’, kadang ada yang membawa anak-anaknya. Selain nasi bungkus beberapa kali juga diberikan vitamin. Setiap hari paket nasi bungkus yang dibagikan adalah 45 nasi bungkus. Tidak jarang mengalami kekurangan.

Pada awalnya, saat sebelum diberlakukan PSBB, pembagian dilakukan secara aktif dengan mendatangi tempat krumunan tukang becak di malam hari mulai jam 19.00. Tidak sedikit di antara mereka yang tidak memiliki tempat tinggal sehingga terpaksa tidur di becaknya di pinggir jalan. Namun sejak PSBB dijalankan, maka persis per tanggal 25 April 2020 pembagian dilakukan di halaman gereja. Dan karena bertepatan dengan bulan puasa bagi saudara muslim, maka pembagian dimajukan jam-nya menjadi jam 17.00. Selama pembagian ini tentu saja harus mengkuti protokoler yang sdh ditetapkan. Sebelum masuk ke halaman gereja dan mengambil bagian, mereka kudu menggunakan masker, mencuci tangan, melewati ruang desinfektan, dan periksa suhu. Kegiatan ini juga memberi kesempatan bagi teman-teman pelaksana untuk memberi edukasi soal Convig-19, khususnya bagi mereka yang tidak mengikuti protokoler pandemi.

Selain kegiatan tersebut di atas, GKI Dipo juga tetap memberikan bantuan bagi anggota tetap Diakonia yang berupa sembako. Hanya dalam masa pandemi ini bantuan di’perlebar’ bukan hanya untuk anggota, tapi juga para tukang parkir dan para penjual yang biasanya mangkal dan mengatur kendaraan di setiap jam kebaktian, serta jemaat yang membutuhkan karena terdampak. Kegiatan yang kami namakan ‘Berbagi Kasih’ ini bisa berjalan lancar dan berkesinambungan berkat jemaat yang peduli dan ada orang-orang yang bersedia dengan sukarela tanpa lelah menjalankannya serta dukungan langsung para pendeta. Jemaat saling ‘memprovokasi’ untuk berperan serta secara aktif dengan memberikan sumbangan. Bisa langsung berupa paket nasi bungkus, paket sembako, atau berupa uang tunai. Donasi berupa uang tunai akan diwujudkan dalam bentuk sembako. Bukan hanya jemaat, bahkan saudara-saudara muslim turut serta datang dengan bantuan langsung yang mereka bawa untuk pula dibagikan. Seperti Ikatan Sarjana Nadhatul Ulama (ISNU) serta Poltekkes Kemenkes kota Surabaya. Mereka datang pas Tanggal 13 Mei 2020. Kemungkinan besar mereka datang selain turut serta membagi paket juga sebagai peringatan 2 tahun peristiwa bom di GKI Dipo

Itulah bentuk peduli yang GKI Dipo bisa lakukan dalam rangka turut serta meringankan beban sesama yang terdampak. Menyadari bahwa mereka adalah “korban-korban berkenan kepada Allah, maka kita diingatkan untuk berbuat baik dan memberi bantuan kepada mereka” (Ibrani 13:16). Biarlah orang di sekitaran gereja merasakan kehadiran gereja yang sesungguhnya, terlebih disaat susah seperti ini. Seperti kebanyakan gereja, mungkin semua gereja, dari segi keuangan pasti mengalami penurunan yang cukup signifikan akibat dari kebaktian yang harus dilakukan secara on-line. Namun begitu rasa syukur tetap bisa kita naikkan karena dengan kekurangan itu gereja tercukupkan menutupkan biaya rutin operasional. Dan kepedulian jemaat sebagai rasa empati terhadap sesama tumbuh lebih besar sebagai refleksi iman itu sendiri.

Dalam senja cahaya itu bersinar terang dari halaman gereja. Tuhan hadir di sana. Setiap orang yang melintas bisa melihatnya. (Sujatno. T)