01 December 2016 / Berita Sukita Terkini

Ngobrol Bareng Oom Ben


media

Ngobrol Bareng Oom Ben

St Andrew Presbyterian Church, Kuala Lumpur

 

 

Redaksi

Sejak medio 2014 Sinode GKI menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Jemaat Kebaktian Bahasa Indonesia (KBI) St. Andrew Presbyterian Church, Kuala Lumpur (KL). Setelah berjalan sekian lama, sudah puluhan pendeta GKI dikirim bergantian untuk melayani (masing-masing selama maksimal satu bulan). Salah satu "tokoh" yang dituakan oleh Jemaat KBI adalah Bp. Benny Zakaria. SUKITA beruntung dapat berbincang dengan beliau di sebuah rumah makan di KL beberapa waktu lalu tentang serba-serbi Jemaat KBI.

Bagi Jemaat KBI, Oom Ben (begitu ia biasa dipanggil di kalangan Jemaat KBI) adalah ibarat "jangkar". Sementara anggota jemaat lain demikian cepat datang dan pergi (mayoritas anggota jemaat KBI adalah pekerja professional usia produktif dengan sistem kerja kontrak yang bisa berakhir sewaktu-waktu), Oom Benny dan isterinya (Bu Lien) sudah memutuskan sejak beberapa tahun lalu untuk menghabiskan masa pensiun mereka di KL. “Kalau dari jemaat sih saya kira; saya percaya bahwa hilang satu datang sepuluh,” demikian ujarnya berusaha yakin. “Dalam hal kekuatiran tentang kepengurusan pun kita harus serahkan kepada Tuhan,” tambahnya.

Namun fakta bahwa jemaat KBI sejatinya adalah sebuah jemaat transito yang komposisi demografinya rentan berubah (baik pertambahan maupun pengurangan) dalam tempo cepat, toh tetap membuat Oom Ben risau. Sebagai informasi, sepanjang bulan Juni 2016 saja tercatat enam keluarga pulang ke Indonesia. Empat keluarga di antaranya adalah aktifis. “Itu yang mencemaskan,” ungkapnya jujur. 

Tentang demografi jemaat KBI Oom Ben menjelaskan, “(sebagian besar; Red) Keluarga muda, ataupun masih lajang. Dan pada umumnya mereka adalah orang-orang yang betul-betul sudah teruji, tersaring, terfilter, sehingga mereka bisa sampai di sini (KL; Red). Tentunya mereka adalah orang-orang yang pandai, yang mempunyai prestasi akademik yang above average. Tentunya bagi orang-orang yang begini, ada hal-hal yang perlu disesuaikan dalam pendekatannya”

“Mereka umumnya punya pendirian yang cukup kuat. Mereka dalam berkeluarga pada umumnya suami istri (yang; Red) dulunya bekerja. Ketika pindah kemari hanya suaminya atau isterinya yang bekerja. Sehingga ada pergumulan di dalam keluarga,” jelasnya. Oom Ben menambahkan: “beberapa pendeta selalu mengistilahkan "ada bom waktu." “ Bom waktu ini merujuk pada gejolak-gejolak konflik dalam keluarga yang sewaktu-waktu dapat mengemuka gara-gara ego pasangan yang sama-sama kuat karena masing-masing memiliki kelebihan.

Hidup di perantauan yang jauh dari sanak saudara, “Ketergantungan antara suami dan istri itu besar.” “Tapi di lain sisi, kemauan untuk saling mengalah atau saling menerima pandangan pasangannya juga tidak mudah,” imbuh Oom Ben.

Oom Ben juga menyampaikan kritik membangun tentang kerjasama pengiriman pendeta GKI untuk melayani bergantian di KBI. “Pendeta-pendeta, khususnya yang sudah 50 tahun ke atas; ketika mereka datang kesini, misal dari kota kecil dan jemaat kecil; variasi jemaatnya tentu terbatas. Mungkin banyak anak kecil atau banyak orang tua. Yang di tengah (usia muda; Red) pada pindah ke kota besar. Sehingga ketika mereka datang kesini, melihat jemaat disini, mereka agak kewalahan bagaimana bisa melakukan pendekatan. Sehingga pendekatannya seakan-akan terkesan agak dipaksakan.”